“Biru, tidak semua hal di dunia ini ada jawabannya. Pun, tidak semuanya dapat dipertanyakan. Mungkin, begitulah cara kerja semesta. Sulit dimengerti, bukan? Tak apa, jangan terlalu memaksakan diri untuk mengerti.”
Hai, semesta! Izinkan saya memperkenalkan diri sebelum menceritakan satu dari banyak kebingungan yang saya alami. Nama saya Batas Biru Cakrawala, panggil saja Biru. Singkat saja ya perkenalan dirinya? Kalau terlalu panjang, saya takut kalian bosan. Baik! Semoga cerita dari saya bisa menjadi pelipur lara di tengah peliknya perjuangan. Tepatnya tahun lalu, di bulan November. Saya bertemu gadis yang bisa dibilang … maaf, sedikit aneh? Ah, begini! Bukan tanpa maksud saya berkata demikian, tapi memang begitu lah yang saya rasakan saat pertama kali bertemu dengannya. Gadis itu ialah anak dari rekan ayah yang ikut berkunjung ke rumah saya pada waktu itu. Saat berkenalan, ada hal yang tidak saya mengerti, mengapa gadis itu menatap saya dengan tatapan sinis. Tidak hanya saat berkenalan, namun sejak pertama menginjakkan kaki di rumah. Lagi-lagi, pertanyaan baru muncul di benak saya. Apa ada yang salah dengan saya?
Awalnya, saya mencoba untuk tidak menanggapi dan bersikap biasa saja karena mungkin itu hal yang wajar. Entah saya yang terlalu pendiam, atau bisa juga gadis itu kurang senang dengan kehadiran saya. Sempat bertanya kepada Ibu tentang hal tersebut. Ibu menjawab, “mungkin dia marah karena Biru.” Pertanyaan lain pun muncul. Marah? Saya baru saja mengenalnya, mengapa dia marah? Apa ada yang salah dengan cara saya memperkenalkan diri? Atau mungkin gadis itu teringat akan seseorang yang ia benci saat melihat wajah saya? Kembali, saya menanyakan hal tersebut kepada Ibu. Beliau hanya bisa tersenyum melihat saya kebingungan seperti itu. Entah mengapa seketika saya jadi berasumsi bahwa wanita agak sulit dipahami karena ‘tak tertebak, kata hatinya … sulit untuk diterjemahkan. Saya harap, kawan-kawan yang membaca ini tidak salah paham dengan asumsi sementara saya. Karena saya bukan tipe orang yang bisa terus terang, akhirnya saya memilih untuk menyimpan dulu semua pertanyaan-pertanyaan yang sempat hadir tadi. Mungkin, akan lebih asik jika nanti saya diskusikan dengan Ibu sambil duduk berdua di teras.
Singkat cerita, rekan ayah serta anak gadis dan putra beliau berpamitan. Kami pun mengantarkan tamu sampai di depan gerbang. Setelahnya, saya duduk berdua bersama Ibu. Ditemani secangkir the jahe buatan beliau. Wah, sama seperti yang sudah saya bayangkan sebelumya. Suasana kembali terasa hangat. Obrolan kami yang tadi sempat terhenti pun berlanjut.
“Ibu, Biru penasaran. Mengapa seseorang memilih untuk bertahan padahal menyakitkan?”
Saya memberi jeda sejenak sambal menatap beliau yang sedang tersenyum ke arah langit malam. Wah, maaf kawan. Ternyata saya menanyakan hal lain, bukan menanyakan beberapa pertanyaan yang sempat tersimpan tadi karena pertanyaan baru yang mengundang rasa penasaran saya tiba-tiba saja muncul.
“Bertahan bukanlah pilihan yang tepat, pun, tidak ada yang menyuruhnya. Namun, dia masih berdiri kokoh, layaknya bangunan dengan pondasi yang kuat.”
“Nah! Kamu sudah tau jawabannya, Biru. Itu pilihan, walaupun dirasa tidak tepat. Menyerah adalah pilihan kesekian yang diambil karena banyak sekali pilihan untuk bertahan dan melanjutkan. Sekarang giliran Ibu yang bertanya. Mengapa tanah yang kita pijaki tidak pernah membenci semua yang berpijak padanya?”
Sudah dipastikan, ini adalah bagian yang saya suka saat mengobrol dengan Ibu. Beliau selalu punya jawaban yang membuat saya setidaknya lega karena pertanyaan saya terjawab sudah. Ya, walaupun terkadang saya masih belum paham bagaimana maksudnya, tapi saya senang.
“Karena … itu sudah menjadi tugasnya?”
“Mengapa harus dengan nada bertanya saat menjawabnya, Batas Biru Cakrawala?”
“Hehehe, saya ragu, Bu.”
Padahal Ibu tidak menuturkan bahwa ada pertaturan benar atau salah saat menjawab pertanyaan yang beliau ajukan.
“Ini bukan ujian, Biru! Ibu tanya lagi. Mengapa Batas Biru Cakrawala selalu punya pertanyaan saat melihat atau merasakan sesuatu?”
Saya kembali terdiam. Memikirkan apa jawaban yang paling cocok untuk pertanyaan tersebut. Mengapa harus berpikir? Karena … saya sendiri pun tidak yakin dengan jawabannya.
“Loh, kok terdiam? Biru ragu dengan jawabannya?”
“Mungkin … karena asik? Jadi Biru bertanya. Tapi, kadang tidak menemukan jawaban, atau malah tidak paham dengan jawaban yang sudah didapatkan.”
Salah satu kuasa beliau tergerak untuk mengusap puncak kepala saya. Disusul dengan senyuman yang membuat hati saya tersasa hangat, seperti baru saja menyesap the jahe yang menemani obrolan kami. Persis seperti itu rasanya.
“Tapi, Biru harus ingat ini. Tidak semua hal di dunia ini ada jawabannya. Pun, tidak semuanya dapat dipertanyakan. Mungkin, begitu lah cara kerja semesta. Sulit dimengerti, bukan? Mungkin begitu cara semesta menunjukkan jawabannya. Tak apa, jangan terlalu memaksakan diri untuk mengerti.”
Bagaimana kawan? Apakah obrolan kami terasa hangat seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya? Saya harap demikian. Ceritanya … tidak membosankan ‘kan? Saya harap tidak, pun saya berharap kawan-kawan tidak ikut mempertanyakan beberapa pertanyaan saya saat membaca cerita ini.
Terimakasih saya ucapkan! Untuk semua yang masih bertahan. Untuk semua yang masih berjuang. Kalian hebat! Terimakasih kawan! Ibu saya pernah bilang, saat rasa lelah berkecamuk dalam raga dan berujung pada pemikiran ingin menyerah, mungkin kita perlu jeda. Sekadar menyempatkan diri untuk mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya, mungkin? Tak apa! Kita semua butuh jeda. Saya juga pernah mendengar sebuah kalimat bermakna, yaitu “Bahkan kata saja butuh jeda agar maknanya terdengar lebih indah.”