Aku berjalan mendaki, menanjaki tanah. Menggunung menjulang. Seperti kubah yang berlapis rumput safana. Sejauh kulempar pandangan mataku, hanya barisan bukit-bukit hijau yang hampa. Tanpa pohon, hanya hijau. Tak kulihat secuil jejak pemukiman. Aku haus, aku lapar, badanku sudah teramat lusuh. Masih kurasa pening dan berat di kepalaku. Entahlah, aku lupa atas apa yang sudah terjadi kepadaku. Aku bahkan bingung, mengapa bisa aku sampai di tempat yang terpencil ini. Bukankah sebelumnya aku sedang bersenang-senang di atas sebuah bukit. Berlari, berteriak, memacu adrenalin lantas mengepakkan parasut bak seekor burung menjelajah angkasa. Ah, sakit sekali kepalaku ini. Tak dapat kuingat lebih jauh mengenai masa-masa sebelum aku tersesat di tempat aneh yang tiada penghujungnya ini.
Aku berjalan lagi. Ku turuni jengkal demi jengkal, langkah demi langkah, meski terseok perlahan merasakan betapa perih luka di kakiku. Yang anehnya tak kulihat setitik darah pun yang mengalir darinya. Mungkin luka dalam yang kuderita. Aku melihat ke berbagai arah. Hijau. Hanya hempasan angin yang membelai lembut dan mentari bersinar hangat yang kutemui. Bahkan aku tak bisa menemukan letak bukit di mana aku berada sebelumnya. Bukit yang menjadi tempatku berlari dan memainkan paralayang.
Aku seperti berputar-putar. Mendaki dan menuruni satu bukit, berjalan di hamparan padang rumput, lantas kembali menjejakkan kaki di atas tanah bukit yang benar-benar serupa dengan bukit yang aku lewati sebelumnya. “Cukup sudah! Aku mulai muak dengan barisan bukit ini! Mengapa sulit sekali aku keluar dan menemukan kehidupan dari tempat aneh yang paling dan ter-ter-teraneh yang pernah aku temui. Aku ingin pulang. Tempat ini tak ada bagus-bagusnya. Konyol! Keluarkan aku dari sini!!!!!” Ocehanku menggema di relung-relung bukit, memantulkan suara, merambatkan bunyi melalui udara, yang kemudian perlahan masuk ke dalam lubang telingaku. Aku benar-benar merasa lelah.
Aku berjalan lagi. Tak kuhiraukan letih di tubuhku ini. Hanya satu tujuanku, aku harus bebas dari tempat ini. Itulah yang mampu menguatkanku. Di saat tenaga yang tersisa hanya setetes saja, aku terus menerus menghardik diriku sendiri, “Perempuan macam apa kau? Untuk berjalan melewati tempat ini saja kau tidak kuat? Hah? Kau lupa, 15 tahun lalu kau pernah berlari menghindari maut. Kau menggoda bahaya. Anjing tetanggamu yang sering sekali menggonggong di malam hari hingga membuatmu susah tidur kau pancing emosinya. Kau ejek dengan nyanyian-nyanyian anak usia 10 tahun dan ekspresi-ekspresi wajah yang begitu menjengkelkan. Kau tak tahu bahwa ternyata dia tak diikat oleh pemiliknya dan akhirnya berlari ingin mencabikmu. Kau terbirit-birit, Rita! Kau berlari secepat kilat menghindarinya. Betapa paniknya dirimu! Hingga akhirnya kau panjat pohon mengkudu yang bau itu. Kau tidak menangis. Kau hanya membuat celana pendekmu basah dengan air ompolmu saja. Kau hebat, bukan? Haha!”
Aku seperti orang gila dalam perjalanan ini. Berbicara, menangis, bercerita, tertawa, dan bernyanyi seorang diri. Kurebahkan sejenak tubuhku di atas rerumputan. Kupandangi langit yang menghampar biru. Seperti kanvas yang penuh dengan gumpalan-gumpalan awan putih yang berarak meninggalkan ujung demi ujung yang lain. “Bodoh! Langit tak memiliki ujung.” aku menertawakan diriku sendiri dalam kesinisan. Tiba-tiba mataku seperti tersihir untuk segera menutup. Terlelap dalam kenyamanan rumput. Terbuai oleh mesranya angin.
**
“Sudahlah, Nak! Tidak usah kau teruskan hobimu yang tidak jelas itu. Jangan kau teruskan kegiatanmu yang selalu pergi menemui alam. Alam tak seindah yang kau lihat, Nak! Alam terbuka sangat berbahaya. Lebih baik kau tekuni dan fokus ke pekerjaanmu. Itu lebih aman dan menjanjikan.” Kalimat sepanjang itu hanya kubalas dengan senyuman tak lebih dari lima detik. Aku sudah kebal dan kenyang dengan kalimat-kalimat seperti itu. Ibu tak henti-hentinya mengingatkanku dan melarangku untuk menekuni hobiku.
“Sudahlah, Bu. Tidak usah Ibu teruskan menasehati Rita. Rita sudah besar. Rita tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi Rita minta Ibu tidak usah ikut campur dengan urusan Rita!” kutekan intonasi pengucapan pada kalimat terakhir. Aku sudah bosan mendengar ocehan ibu yang seakan tak pernah berhenti melarangku. Ibu tidak pernah paham dengan keinginanku. Bahkan terkadang aku berfikir bahwa ibu tidak ingin aku bahagia.
Duniaku begitu berwarna saat aku berada di luar rumah. Aku merasa begitu bebas. Bebas melakukan apa yang aku mau. Aku suka sekali dengan kegiatan alam terbuka. Aku selalu mengisi waktu senggangku sebagai seorang Event Organizer dengan mendaki gunung, ikut diklat SAR, dan bermain paralayang. Aku seperti begitu kecanduan dengan adrenalin-adrenalin yang tercipta ketika aku berada di alam terbuka.
**
Mataku masih begitu berat saat aku mencoba untuk membukanya. Kubuka perlahan, mengerdip beberapa kali untuk mencari fokus mataku, dan aku bisa melihat dengan jelas tanpa ada bayangan yang kabur saat kutatap. “Hey, di mana lagi aku ini? Bukankah tadi aku berada di tengah-tengah barisan bukit yang begitu aneh?” Aku kebingungan dengan tempat yang sekarang tengah aku pijak. “Tunggu-tunggu! Sepertinya aku mengenal tempat ini. Ini adalah kamarku. Kamar yang aku rindukan kehangatannya.” Aku bangkit dari atas ranjangku. “Hey, kenapa kakiku terasa tak sakit lagi? Badanku terasa begiu ringan. Ringan ku langkahkan. Tak seperti tadi, saat aku berada di padang rumput.”
Aku melangkah menuju meja kerjaku. Kulihat kalender kecil bergambar Gunung Bromo yang aku dapat saat aku menjadi panitia kegiatan di sana. 14 September 2001. “Hey, bukankah kalender yang kudapat bertahun 2014? Lantas mengapa sekarang menjadi tahun 2001? Bukankah itu tahun di mana ayah.... Ah, aneh sekali!” Kejadian ini sangat membingungkan. “Aku harus segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padaku saat ini!”
Kudengar sayup-sayup suara. Kuikuti suaranya yang berada di luar kamar. Aku berjalan keluar kamar. Tunggu dulu, ada yang aneh. Aku bisa menembus pintu kamarku! “Ya Tuhan, apalagi ini?” Belum hilang rasa penasaranku terhadap dua hal sebelumnya, kini sudah ditambah dengan rasa penasaran dengan tembusnya aku terhadap benda padat.
“Ayah, nanti Rita belikan stroberi ya, Yah! Pasti stroberinya manis-manis!” pintaku manja kepada ayah. “Iya Sayang, nanti kalau Ayah pulang, Ayah bawakan stroberi paling manis yang belum pernah Rita rasakan sebelumnya. Tapi, Rita jangan lupa ya untuk selalu mendoakan Ayah, agar Ayah selalu dilindungi dan dijaga keselamatannya,” ujar ayah. “Iya Ayah. Rita akan doakan Ayah selalu. Jangan pergi lama-lama ya, Ayah!” aku mencium kedua pipi ayah. Aku kecup punggung tangannya. Kulontarkan salam, berharap agar ayah selalu selamat. “Hati-hati ya, Yah! Jangan pernah tinggalkan sholat. Di mana pun Ayah, bagaimana pun keadaan Ayah, Ayah jangan pernah meninggalkan kewajiban itu,” ucap ibu lembut. “Iya, Bu. Ayah tidak akan meninggalkannnya. Ayah hanya akan pergi seminggu. Setelah puing-puing bencana itu bersih, dan kehidupan warga lereng gunung itu kembali normal, Ayah akan pulang. Jaga Rita ya, Bu!” ayah mengecup kening ibuku. Kulihat mereka begitu saling menyayangi. Mereka bersatu membesarkanku dengan kehangatan keluarga yang selalu aku banggakan.
Ayahku adalah seorang pebisnis. Usaha peternakan sapi yang sudah menyebar ke beberapa kecamatan di kotaku. Ibu pernah cerita bahwa dulu ayah hanya memiliki seekor anak sapi kecil peninggalan keluarganya. Dulu hidup ayah dan ibu begitu sederhana. Tapi dengan kegigihan dan kekompakan mereka, kehidupan mereka menjadi berubah. Anak sapi itu berkembang biak dan terus beranak. Hingga satu kandang reot di pojok belakang rumah mereka bertambah hingga barisan kandang yang lebih permanen. Bukan dari bambu lagi, tapi tercipta dari bata dan semen.
Ayah memiliki hobi yang unik. Berkelana dan menjelajah alam. Kegemaran yang tak sedikitpun yang tak menitis kepadaku. Ayah juga anggota dari tim SAR. Tiap kali ada bencana, ayah selalu ikut terjun langsung ke tempat kejadian. Hingga kejadian tragis itu terjadi. Ayah terkubur dalam longsoran tanah setinggi 3 meter. Saat itu ayah adalah relawan yang ikut membantu dalam bencana longsor. Ayah ikut membersihkan sisa-sisa longsoran yang ada, hingga ikut mengevakuasi korban. Dikiranya longsor sudah selesai karena roda kehidupan warga sudah mulai bangkit. Namun mereka salah, bukit yang mereka pijak kembali mengalami longsor. Menelan korban jiwa, ayah salah satunya. Ayah tak tahu ada gemuruh tanah yang bergerak turun. Ayah sedang sholat, mengucap syukur karena sudah bisa membantu orang yang sedang kesusahan. Tangis kembali pecah, tangis para warga, tangis para keluarga korban, aku dan ibu juga.
Sejak saat itu, ibu mulai menghindari kegiatan di alam terbuka. Dan itu berdampak kepadaku. Aku sempat dilarang ikut kegiatan pramuka kesukaanku karena dianggap akan membahayakan keselamatanku. Aku menangis, memberontak, tak terima jika kesukaan yang sudah mendarah daging itu harus berhenti kukerjakan. “Ayah dulu suka dengan kegiatan di alam, Ibu juga kan? Lalu kenapa sekarang Rita dilarang?” aku berteriak sambil menangis. “Ini untuk kebaikanmu, Rita! Ibu tidak ingin ada hal yang tidak Ibu inginkan terjadi kepadamu.” ibu mencoba menenangkanku dengan sikap keibuannya. “Kenapa, Bu? Kenapa harus dilarang? Alam ini sangat indah. Rita suka dengan alam. Kenapa Ibu harus melarang Rita?” aku terus berontak dalam tangisan. Hingga akhirnya ibu kehilangan kendali. “Karena alam sudah merenggut nyawa ayahmu, Rita!” ibu membentak. Intonasinya meninggi. Kulihat matanya merah, dengan embun-embun bening di sudut matanya. Aku terdiam. Aku tak berani melanjutkan protesku. Tapi satu hal yang aku yakini, bukan alam yang merenggut nyawa ayah.
**
“Dingiiiin....” ucapku gigil. Aku terjaga dari tidurku oleh hawa dingin yang serasa menjadi tombak-tombak runcing menancap di tulang-tulangku. Kubuka mataku. “Astaga, tempat ini lagi? Tidak, aku tidak ingin berada di sini lagi. Bukankah aku berada di rumah dan menyaksikan betapa hangatnya keluargaku dulu? Tunggu dulu. Mungkinkah aku menembus lorong waktu dan kembali berada pada masa 13 tahun silam? Ah, tapi mana mungkin? Aku tak punya pintu kemana saja seperti yang dimiliki Doraemon. Bahkan di tempat ini tak ada hal lain selain padang rumput dan bukit-bukit.” Aku mengaduh sekali lagi atas rasa dingin ini. “Hey, bukankah itu matahari? Tapi, tapi mengapa bukan panas yang terasa? Malah dingin seperti saat kujulurkan lidahku ke dalam freezer kulkas pertama keluargaku dulu? Aneh sekali tempat ini! Sebenarnya aku berada di mana?!” aku serasa ingin mati ditertawakan oleh rasa penasaranku sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu seolah terbahak-bahak menyaksikan aku diombang-ambing di tengah ketidaktahuaanku pada tempat super aneh bin sepi yang aku tempati saat ini. “Aaaaaaa....” aku berteriak lantang dengan sisa-sisa suara serak yang aku miliki. Dan sekali lagi suara itu memantul dan masuk kembali ke dalam telingaku. “Ini tempat aneh super super aneh dan paling aneh yang pernah aku temui. Sepertinya aku bisa memasukkannya ke dalam berita. Seperti tayangn yang selama ini aku lihat. 7 tempat teraneh versi On De Pot. Hahaha.” aku tertawa sendiri dengan lelucon yang aku buat.
“Yaaa, aku setuju denganmu. Apa tidak kau buat juga berita 7 manusia paling durhaka versi On De Kock. Hahaha.” suara itu menggema juga. “Hey, ada orang? Suara siapa itu? Siapa Kau? Bisa Kau bantu aku keluar dari tempat ini? Aku sudah berhari-hari berada di sini, dan aku sudah sangat muak dengan keanehan tempat ini.”
“Ahh itu perkara mudah. Tapi ada tiga hal yang harus kau penuhi!” aku mengernyitkan dahi. “Aku bukan jin botol yang musti menuruti keinginanmu.” kuangkat kedua tanganku dan kuletakkan di depan dadaku. “Hahaha, itu bukan urusanku. Baiklah kalau tidak mau. Aku juga tidak begitu butuh dengan hal itu. Hahaha.” Aku mulai panik. “Tunggu dulu tunggu dulu. Kau tahu jalan keluar dari tempat ini, bukan?” ucapku penasaran. “Hehehm..” dia menjawab enteng. “Kau janji jika aku bersedia memenuhi keinginanmu, Kau akan mengeluarkan aku dari sini?” aku mulai mengiba. “Tentu saja,” sekali lagi dia menjawab dengan penuh percaya diri. Aku berpikir keras mempertimbangkan penawarannya. Jangan-jangan nanti permintaannya aneh-aneh seperti tempat ini. Jangan-jangan nanti permintaannya merugikanku. Ah, aku bingung. “Bagaimana? Hemm..” aku tidak menjawab, masih berkutat dengan pikiranku. “Baiklah, sepertinya Kau tidak mau. Aku kembali tidur saja.” ucapnya. “Tunggu dulu. Baiklah aku setuju. Aku akan memenuhi keinginanmu dan Kau harus mengeluarkan aku dari tempat ini.”
“Perfecto. Baiklah, permintaan pertama. Kau harus menjawab pertanyaan ini. Apa Kau membenci ibumu? Jika iya, apa alasannya?” aku diam. Kubiarkan tempat itu hening untuk beberapa detik. “Bagaimana, Rita?” ucap suara besar itu. “Sejujurnya tidak,” aku mulai membuka suara. “Lalu mengapa Kau sering membentaknya?” aku menunduk. Kucerna dalam-dalam pertanyaan itu. Benar. Mengapa aku menyakitinya padahal aku tak membencinya? “Aku tak benci. Aku hanya marah. Mengapa harus dilarang-larang melakukan hal yang aku sukai,” suaraku mulai pelan. “Kau tahu mengapa ibumu begitu?” tanya suara itu lagi. “Karena ayah. Bukan, maksudku karena kejadian yang menimpa ayah,” mataku mulai sembab. “Hahaha aku tahu. Baiklah. Permintaan pertama sudah terpenuhi. Kesimpulannya Kau tak membenci ibumu. Benar begitu?” “Ya,” jawabku singkat.
“Baiklah. Permintaan kedua. Aku ingin Kau membuat puisi tentang kebencianmu kepada ibumu,” pintanya lagi. “Tunggu dulu. Bukankah sudah kubilang bahwa aku tak membenci ibuku? Kau lupa?” balasku. “Yaa, tentu saja aku ingat. Kau baru menjawabnya beberapa detik yang lalu.” “Lantas mengapa Kau minta hal itu padaku?” tanyaku terheran-heran. “Bukankah Kau sudah bersedia untuk memenuhi permintaanku?” Aku diam lagi. Kupikirkan lagi. Aku harus memenuhi permintaanya. Jika tidak, aku takkan bisa keluar dari tempat ini. “Bagaimana? Aku tak punya cukup waktu untuk menunggumu!” jawabnya setengah mengancam. “Tunggu dulu. Aku akan menjawabnya. Tapi beri aku waktu untuk memikirkan syair-syairnya.” “Hemmm, baikah. Satu menit.” aku melotot. Seperti protes. Tapi tak kuungkapkan. Kubiarkan saja. Yang penting aku harus memenuhi permintaannya dan keluar dari tempat ini. Aku berpikir lagi. Bukan tentang syair, tapi tentang tegakah aku membuat ungkapan kebencian pada wanita yang mencintaiku sepenuh hatinya? Meskipun dia melarangku, itu demi kebaikanku. Aku tahu, dia sangat menyayangiku. Aku saja yang terlalu egois. Aku harusnya paham, ibu sudah tak punya siapa-siapa selain aku. Aku adalah permata hatinya.
“Bagaimana, Rita? Kau sudah buat syairnya?” tanyanya. “Aku sudah buat. Maksudku aku sudah buat keputusan. Aku tak akan memenuhi permintaanmu kali ini. Aku mencintai ibuku. Aku tak akan membuat syair yang akan melukai ibuku jika dia tahu. Tapi, aku harus keluar dari sini. Aku harus menemui ibuku. Ayolah, keluarkan aku dari sini!” aku memohon dengan berlutut.
“Heemm tak bisa. Itu sudah kesepakatan kita, bukan? Kau harus menepati janjimu. Kau harus belajar menjadi seseorang yang konsisten. Benar begitu?”
“Kumohon. Aku harus keluar dari tempat ini. Atau, atau paling tidak tolong ubah permintaanmu. Akan aku penuhi.”
“Hmmmm menarik. Kau mau bernegosiasi denganku. Baiklah. Permintaan kedua akan aku ganti. Jika aku membantumu keluar dari sini, apa yang akan Kau beri kepadaku?” suara itu menggema lagi.
“Aku akan mengucapkan beribu terima kasih,” dia tertawa penuh kemenangan.
“Itu saja? Mudah sekali. Aku tak butuh terima kasih!”
“Lantas apa yang kau mau?” tanyaku menyelidik.
“Ibumu.”
“Apa? Maksudmu? Permintaanmu tak bisa kupenuhi. Ini sangat berat. Aku tak bisa.”
“Terserah saja. Kau ingin cepat pergi dari sini atau tidak. Jika iya, kau harus memenuhi permintaanku. Mudah kan?”
“Tidak. Lebih baik aku di sini selamanya daripada harus mengorbankan ibu. Tidak. Ibu adalah hartaku satu-satunya. Aku tidak akan pernah rela. Tidaaakkk!!!”
Sejurus dengan itu semburat warna merah dari balik bukit muncul dan berubah menjadi gumpalan batu yang siap menyerbu tubuhku. Aku terlempar, terpental tak kuasa menahan dorongan dari ribuan batu itu. Mataku mulai rabun. Tubuhku terasa sakit dihujani ribuan batu. Telingaku terasa tak berfungsi lagi. Kurasakan langit mulai berputar. Memutar, memutar, memutar seperti komedi putar di pasar malam. Ribuan kali lebih cepat.
**
Setitik cahaya. Kuraih, tak dapat. Kukejar terus membesar. Kuikuti cahaya itu, hingga menuntunku pada sebuah lorong, lorong yang semakin lama semakin memutih. Hingga pada akhirnya dapat kudengar suara lembut yang berada dekat denganku. Lantunan ayat suci. Kubuka mataku. Ah, silau. Aku melihat ke langit-langit ruang itu. Aku mencari sumber suara merdu yang sedari tadi menggema di telingaku. Ibu. Cantik sekali. Serasa sewindu tak memandang wajah teduhnya. Setelah semua hal aneh yang aku alami, akhirnya aku menemukan kedamaian.
“Ibu..” ucapku pelan. Ibu menoleh. Binar kebahagiaan begitu terpancar dari matanya. Rasa penasaran mengapa aku bisa berada di kamar penuh alat medis dengan luka parah di sekujur tubuh segera menghinggapiku. Tapi perasaan itu segera pergi jauh, terusir oleh rasa haru karena bertemu dengan ibu. Aku menangis menjadi-jadi. Meminta maaf atas semua kesalahanku kepada ibu. Semua ucapan dan sikap yang begitu menyakiti ibu seperti terus mengalir deras dalam memori otakku. Hingga pada akhirnya kelopak mataku tak dapat menahan air mata lagi. “Ibu sudah memaafkanmu sebelum kamu minta maaf,” senyum tulusnya mengembang. Kami berpelukan. Seperti sudah sekian lama tak bersua.
Atmosfer kikuk dan dingin segera mencair. Aku dan ibu segera menghangat. Aku segera bertanya mengapa aku bisa menjadi seperti ini. Ibu menceritakan, seminggu yang lalu aku pergi ke tempat biasa latihan paralayang. Aku begitu bersemangat. Menganggap kegiatan mengambil keputusan untuk membuka parasut adalah hal mudah karena aku sudah sering melakukannya. Aku salah, aku lengah. Aku kalah oleh rasa sombongku. Aku terlambat membuka parasutku. Kau tahu bukan, telat sedetikpun untuk membuka parasut maka nyawa adalah taruhannya. Benar saja. Parasutku terbuka, tapi tak sempurna. Tubuhku menghempas pepohonan. Jatuh, tersangkut, sobek, berdarah-darah. Cukup beruntung aku tak jatuh di atas tanah. Aku hilang kesadaran. Seminggu sudah aku berada di kamar ini. Ibuku tak henti memohon pada Sang Kuasa. Meminta agar Tuhan mengembalikan aku pada kesadaranku.
Aku masih tak bisa mengerti atas apa yang aku alami saat itu. Barisan bukit yang aneh, aku yang bisa melintasi dimensi waktu, hingga suara misterius yang sempat memberiku penawaran.
**
Aku duduk di atas kursi taman rumahku. Menghadap hamparan rumah-rumah yang berjejer di bawah sana. Kurasakan betul belaian lembut semilir angin yang menerpa wajahku. “Permintaan terakhir, kau harus menjaga ibumu dengan sebaik-baiknya,” suara itu tiba-tiba muncul. “Pasti,” kujawab permintaannya dengan penuh keyakinan. Aku tak peduli lagi pada siapa pemilik suara itu. Aku sudah tenang. Aku memahami maksud ibu, dan ibu juga memahamiku. Ibu mengizinkanku untuk tetap menjalankan kegemaranku, dengan syarat aku harus selalu berhati-hati.
Bukankah sesuatu yang tak mampu membunuhmu akan membuatmu makin kuat?